Salam

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ

Assalamu'alaikum warahmatullah, Jaroe dua blah lon beu'et teuma, Saleum ulon brie keu mandum rakan, Bak Allah teuman lon lakee do'a

Sistem Perbankan Syariah

1. Perkembangan Bank Syariah
Sejak awal kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal periode 1980-an bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Secara garis besar lembaga tersebut dapat dibagi dua kategori: bank Islam komersial, dan lembaga investasi dalam bentuk international holding companies.
Perkembangan bank syariah dipelopori oleh Pakistan, pada tahun 1979 sistem bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi: National Investment, House Building Finance Co, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan. Pada tahun 1985 seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem perbankan syariah. Sedangkan di Mesir bank syariah pertama yang didirikan adalah Faisal Islamic Bank pada tahun 1978, kemudian diikuti Islamic International Bank for Investment and Development Bank ini beroperasi sebagai bank investasi, bank perdagangan, maupun bank komersial. Sementara di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan tahun 1983 merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara.
Di Indonesia bank syariah didirikan pertama kali pada tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada awal berdirinya keberadaan bank syariah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Kemudian setelah UU No.7/1992 diganti dengan UU No.10 tahun 1998 yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, maka bank syariah mulai menunjukkan perkembangannya. Undang-undang ini pula memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversikan diri menjadi bank syariah.

2. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Disamping adanya beberapa persamaan antara bank konvensional dan bank syariah, terdapat pula perbedaan yang cukup mendasar antara lain: aspek legal, dan usaha yang dibiayai. Dalam aspek legal di bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hokum Islam. Sedangkan aspek bisnis dan usaha yang dibiayai, dalam bank syariah tidak dimungkinkan membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.
Secara umum perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional, serta perbedaan antara bunga dan bagi hasil disajikan dalam tabel berikut :

Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
1. Bank syariah investasi yang halal. Sedangkan bank konvensional investasi halal dan haram.
2. Bank syariah prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa. Sedangkan bank konvensional memakai perangkat bunga
3. Bank syariah profit dan falah oriented. Sedangkan bank konvensional profit oriented.
4. Bank syariah hubungan kemitraan. Sedangkan bank konvensional hubungan debitur dan kreditur
5. Bank syariah penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah. Sedangkan bank konvensional tidak terdapat dewan sejenis


Perbedaan Antara Bunga Dan Bagi Hasil
1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Sedangkan bagi hasil penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat saat akad dengan pedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
2. Penentuan bunga besarnya persentase untung berdasarkan modal yang dipinjamkan. Sedangkan bagi hasil besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah untung yang diperoleh.
3. Penentuan bunga pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan lainnya. Sedangkan bagi hasil bergantung pada keuntungan atau kerugian proyek yang dijalankan
4. Penentuan jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat. Sedangkan bagi hasil jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat
5. Penentuan eksistensi bunga diragukan. Sedangkan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

3. Bunga dan Riba
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah. Namun yang dimaksud riba yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah, dan yang dimaksud dengan transaksi pengganti yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti: transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil.
Teori bunga dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu : (i) teori bunga murni, dan (ii) teori bunga moneter. Teori bunga murni, terdiri dari : teori bunga klasik, teori bunga tahan nafsu, teori bunga produktivitas, dan teori bunga Austria. Sedangkan teori bunga moneter terdiri dari : teori bunga tentang dana yang dapat dipinjamkan, dan teori bunga Keynes.
Menurut Smith, bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh debitor kepada kreditor sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh dari uang pinjaman tersebut. Ekonom ini percaya bahwa akumulasi kapital uang sebagai akibat dari penghematan, dimana penghematan ini tidak dapat dilaksanakan tanpa mengharapkan balas jasa atas pengorbanannya. Karena itulah bunga sebagai balas jasa atau perangsang tabungan. Sedangkan pendekatan Keynes terhadap teori bunga sering dikenal sebagai pendekatan persediaan (stock), Keynes berpendapat bahwa bukan tingkat bunga, tapi tingkat pendapatan yang menjamin untuk menyamakan tingkat tabungan dengan tingkat investasi. Dengan kata lain bunga merupakan balas jasa untuk tidak membelanjakan uang atau untuk tidak menyimpan uang dalam bentuk uang kas.

4. Riba Dalam Perspektif Agama dan Ekonomi
Kita akan menganalisis bunga dengan beberapa implikasinya. Banyak pendapat mengenai bunga, pertama alasan menahan diri (abstinence) yang menegaskan ketika kreditor menahan diri, ia menangguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Namun dalam kenyataannya kreditor hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri atau uang yang berlebih dari yang ia perlukan dengan demikian sebenarnya ia tidak menahan diri atas apapun.
Ada anggapan bunga sebagai imbalan sewa yang didasarkan dari rumusan yang menempatkan posisi rent, wage, dan interest. Rumus ini menunjukkan bahwa padanan rent (sewa) adalah aset tetap dan aset bergerak, sedangkan interest (bunga) padanannya uang. Hal ini tentu tidak tepat karena uang bukan aset tetap, karena itu menuntut sewa uang tidak beralasan. Modal sering juga dipandang mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah, dengan semikian kriditor layak untuk mendapatkan imbalan bunga. Dalam kenyataanya modal menjadi produktif bila digunakan untuk bisnis yang mendatangkan keuntungan, sedang bila digunakan untuk konsumsi modal sama sekali tidak produktif.
Anggapan lain bunga sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang. Mengapa banyak oarng tidak membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang tetapi menyimpannya untuk keperluan pada masa yang akan datang? Secara prinsip Islam mengakui adanya nilai dan berharganya waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap, hal ini karena hasil nyata dari optimalisasi waktu itu adalah variabel.
Inflasi dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan, dengan demikian terjadi penurunan daya beli uang atau decreasing purchasing power of money. Karena itu menurut penganut paham ini pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Argumentasi ini sangat tepat bila dalam perekonomian yang terjadi hanya inflasi saja tanpa deflasi atau stabil.

5. Prinsip Dasar Perbankan Syariah
a. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadi’ah)
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip menghendaki. Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah) artinya tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan karena kalalaian penerima dalam memelihara barang titipan. Akan tetapi dalam aktivitas perekonomian modern penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya harus memenita izin dari penitip untuk kemudian mempergunakan asetnya dengan menjamin akan mengembalikannya secara utuh. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan titipan atau simpanan tersebut untuk tujuan: giro dan tabungan berjangka. Konsekuensi dari tangan penanggung ini (bank), semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung seluruh kumungkinan kerugian. Sebagai imbalan penyimpan memperoleh jaminan keamanan terhadap asetnya juga fasilitas giro lainnya. Bank tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi merupakan kebijakan dari manajemen bank.

b. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad utama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

0 Response to "Sistem Perbankan Syariah"

Mutiara dari Baginda Nabi SAW

Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan.

Kata Pilihan 1

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar.

Kata Pilihan 2

Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kehilafan, berputus asa dengan kehilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kehilafan yang kamu lakukan, wahai Ibn ‘Imran.

Kata Pilihan 3

Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (QS. Al-An'âm [6]: 162-163)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel