Dasar Fiqh Ekonomi Islam
7/27/2008 08:42:00 PM
Add Comment
1. Pendahuluan
Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.
Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.
Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.
2. SUMBER-SUMBER FIQIH
Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu:
Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.
a. Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.
b. Al-Hadist.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:
“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.
Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.
c. Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.
3. FIQIH MAQASHID SYARIAH
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat. Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan syariat. Ke lima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3) terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal.
Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat (pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal), perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).
Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah. Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1) Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman.
Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.
4. KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh factor :
1. Haram Zatnya (Objek Transaksinya).
Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).
Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).
a. Tadlis.
Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam, karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
b. Ikhtikar.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.
c. Bai’ Najasy.
Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham). Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.
d. Taghrir.
Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
e. Riba.
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah).
3. Tidak Sah/Lengkap Akadnya
Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.
5. TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM
Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya), maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad.
Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum.
Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.
Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.
Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).
Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.
WaLlahu a’lam bi as shawab
6. REFERENSI
Adiwarman Karim, 2003. Bank Islam: Analisa Fiqh dan Keuangan. The International Institute of Islamic Thought, Jakarta
Ahmad Djalaluddin, 2002. Fiqih Ekonomi Islam. Materi Kuliah Brawijaya Intensive Study On Islamic Economics (BREVITIES). CIES FE Univ. Brawijaya. Malang
Ahmad Nuryadi, 2002. Konsep Fiqih Tentang Riba, Gharar, dan Maysir. Makalah Training Fiqih Ekonomi Islam. CIES FE Univ. Brawijaya. Malang
Syechul Hadi Permono, 2002. Fiqih Iqtishady Kontemporer. Makalah Seminar Nasional Ekonomi Islam. BEM FE Univ. Airlangga. Surabaya
Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.
Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.
Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.
2. SUMBER-SUMBER FIQIH
Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu:
Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.
a. Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.
b. Al-Hadist.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:
“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.
Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.
c. Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.
3. FIQIH MAQASHID SYARIAH
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat. Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan syariat. Ke lima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3) terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal.
Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat (pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal), perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).
Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah. Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1) Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman.
Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.
4. KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh factor :
1. Haram Zatnya (Objek Transaksinya).
Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).
Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).
a. Tadlis.
Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam, karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
b. Ikhtikar.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.
c. Bai’ Najasy.
Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham). Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.
d. Taghrir.
Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
e. Riba.
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah).
3. Tidak Sah/Lengkap Akadnya
Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.
5. TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM
Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya), maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad.
Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum.
Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.
Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.
Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).
Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.
WaLlahu a’lam bi as shawab
6. REFERENSI
Adiwarman Karim, 2003. Bank Islam: Analisa Fiqh dan Keuangan. The International Institute of Islamic Thought, Jakarta
Ahmad Djalaluddin, 2002. Fiqih Ekonomi Islam. Materi Kuliah Brawijaya Intensive Study On Islamic Economics (BREVITIES). CIES FE Univ. Brawijaya. Malang
Ahmad Nuryadi, 2002. Konsep Fiqih Tentang Riba, Gharar, dan Maysir. Makalah Training Fiqih Ekonomi Islam. CIES FE Univ. Brawijaya. Malang
Syechul Hadi Permono, 2002. Fiqih Iqtishady Kontemporer. Makalah Seminar Nasional Ekonomi Islam. BEM FE Univ. Airlangga. Surabaya
0 Response to "Dasar Fiqh Ekonomi Islam"
Post a Comment